Kisah Dua Tukang Sol (bag 5): Memantaskan Diri Untuk Sukses
Ini adalah kelanjutan dari cerita motivasi yang berjudul Kisah Dua Tukang Sol, sudah tertulis 4 bagian. Bagi Anda yang belum membaca kisah sebelumnya, tentu saja akan lebih baik dan nyambung jika membaca kisah pada bagian sebelumnya.
- Kisah Dua Tukang Sol Bagian 1
- Kisah Dua Tukang Sol Bagian 2
- Kisah Dua Tukang Sol Bagian 3
- Kisah Dua Tukang Sol Bagian 4
Mang Udin Memantaskan Diri Untuk Sukses
“Mah, masih ada uang?”, tanya mang Udin ke istrinya.
“Ada kang, kalau untuk makan masih cukup.” jawab istrinya.
Mang Udin tersenyum.
“Kenapa? Koq senyum? Butuh uang?” tanya istri mang Udin.
“Nggak, eh iya, tidak … eeeh.” kata mang Udin.
“Koq jadi grogi gitu?” jawab istrinya.
“Sudah lama mamah tidak panggil akang.” kata mang Udin menatap istrinya.
“Oh itu yang bikin grogi … ” kata istri mang Udin senyum menggoda.
“Mumpung nggak anak-anak. Sudah lama rasanya hidup kita dipenuhi kesulitan, rasa khawatir besok mau makan apa? Khawatir kalau besok anak-anak apa bisa berangkat sekolah atau tidak … Sekarang mungkin kita sudah bisa melepas itu semua. Mungkin kita bisa kembali memikirkan kita berdua?” lanjut sang istri.
“Mamah dan anak-anak selalu di hati ayah … eh akang.” kata mang Udin.
“Tapi jangan melebihi cinta akang ke Allah dan Rasul-Nya.” jawab istri mang Udin.
“In syaa Allah, kan menyayangi istri dan anak dalam rangka beribadah juga.” kata mang Udin.
“Betul kang. Eh … tadi akang nanya uang. Perlu uang? Untuk apa?” tanya istri mang Udin.
“Betul … akang mau beli buku. Buku bisnis, mau belajar bisnis.” kata mang Udin.
“Oh .. berapa kang? Nanti Yanti ambilkan dari tabungan kalau agak banyak.” kata Yanti, istri mang Udin.
“Nggak tau, berapa ya? Akang belum pernah beli buku. He he.” kata Mang Udin nyengir.
“Ya udah, nanti bawa aja dulu berapa. Kalau sisa, kan bisa ditabungin dulu.” kata Yanti.
“Ok, besok ayah, eh akang, ke toko buku. Sekarang mau keliling dulu.” kata Mang Udin.
“Iya kang, hati-hati ya …” pesan Yanti ke suaminya.
“In syaa Allah, akan selalu hati-hati, karena ada selalu dikangenin di rumah.” jawab mang Udin sambil menuju pintu.
Yanti mengiringi suaminya dengan senyum sambil berdo’a agar suaminya diberikan keselamatan dan mendapatkan rezeki yang halal dan barokah.
Order Yang Tidak Disangka-sangka
Mang Udin melewati rumah pemuda yang tempo hari membetulkan sepatunya dan memberikan nasihat tentang bisnis ke mang Udin. Pemuda itu memanggil mang Udin.
“Maaaannggg !” katanya agak teriak.
“Baik pak, ada yang bisa dibantu?” tanya mang Udin.
“Ah jangan panggil bapak, saya jadi merasa tua … he he.” kata pemuda itu.
“Baik mas. Ada sepatu yang mau diperbaiki?” tanya mang Udin lagi.
“Nggak … tapi tunggu sebentar. Oh, duduk saja dulu di kursi.” kata pemuda itu, sambil menunjukan kursi di teras rumahnya.
“Nggak usah, disini saja. Mamang kan selalu bawa bangku untuk duduk.” kata mang Udin, sambil mengeluarkan bangku kecil dengan jok buatan tangan.
“Jangan disini, di kursi saja, biar enak ngobrolnya.” kata pemuda itu.
“Oh baik kalau begitu mas.” kata mang Udin sambil mendekati kursi dan duduk. Sementara pemuda itu masuk rumah. Kemudian keluar seorang perempuan paruh baya membawa baki berisi kopi dan kue, kemudian meletakannya di meja.
“Silahkan mang, diminum dan dicicipi kuenya.” kata perempuan itu yang ternyata pembantu pemuda tadi.
“Oh, terima kasih. Padahal nggak usah ngeropin segala.” kata mang Udin.
“Tidak apa-apa, saya disuruh mas Yoga. Saya permisi dulu.” kata perempuan itu sambil meninggalkan mang Udin.
Selang beberapa menit, si pemuda itu, Yoga, tidak keluar juga. Mang Udin agak sedikit gelisah karena membuang waktu hanya untuk duduk. Ya meski pun dapat rezeki secangkir kopi dan kue yang nampaknya enak.
Tiba-tiba Yoga keluar sambil membawa beberapa lembar kertas.
“Koq belum diminum mang? Keburu dingin nanti.” kata Yoga.
“Oh iya, terima kasih.” kata mang Udin sambil mengambil cangkir kopi yang masih hangat.
“Begini mang, bisa tidak membuat sepatu seperti ini?” tanya Yoga sambil menunjukan beberapa kertas yang berisi gambar setapu dilihat dari beberapa sisi.
Setelah beberapa lama mengamati gambar, Mang Udin mengangguk-ngangguk.
“Sebenarnya bisa mas … tapi” kata mang Udin ragu.
“Tapi kenapa mang?” tanya Yoga penasaran.
“Sepertinya butuh beberapa peralatan, mamang tidak punya.” jelas mang Udin.
“Oh itu. Kalau mang Udin siap menerima order dari saya terus menerus, nanti bisa saya bantu menyiapkan peralatan, sekalian kita cari tempat untuk workshopnya.” jelas Yoga.
“Workshop itu apa mas?” tanya mang Udin bingung.
“Itu, tempat mang Udin kerja nanti.” jelas Yoga.
“Oh … memangnya mau buat banyak mas?” kata mang Udin.
“Mudah-mudahan. Saya berencana mau bisnis jasa membuat sepatu custom, artinya membuat sepatu pesenan sesuai keinginan pembeli. Kebetulan, selama ini saya bergelut di bidang desain. Jadi kita akan kerja sama.” jelas Yoga.
“Memangnya bakal banyak yang pesen sepatu? Kan beli di toko sudah banyak yang jadi dan tinggal pakai? Kenapa harus pesen dan menunggu lama.” kata mang Udin.
“Mamang pernah jahit baju ke penjahit?” tanya Yoga.
“Nggak mas, mahal, saya beli aja yang murah.” jawab mang Udin sambil tersenyum.
“Mamang lihat nggak, banyak yang pesen baju ke penjahit?” tanya Yoga.
“Banyak mas, bahkan antri. Padahal penjahit banyak.” kata mang Udin.
“Nah, begitu juga sepatu. Ada saja orang yang tidak mau beli jadi dengan berbagai alasan dan ingin memesan. Buktinya sepatu ini sebenarnya pesanan teman saya.” kata Yoga.
“Oh begitu … nggak kepikiran sama saya mas. Saya mah bingung, nawarin ke siapa yang mau buat sepatu. He he.” kata mang Udin.
“Tenang saja, tugas mamang fokus membuat sepatu sebaik mungkin. Bagian desain dan pemasaran itu urusan saya.” jelas Yoga.
“Boleh mas, alhamdulillah, semoga ini menjadi jalan rezeki saya.” kata mang Udin terlihat gembira.
“Buat saya juga mang.” kata Yoga sambil tersenyum.
“Oh iya mas, buat kita semua.” kata mang Udin, tersenyum juga.
***
Singkat cerita, mang Udin dan Yoga mulai merintis bisnis sepatu custom. Awalnya bertempat di rumah mang Udin untuk mengerjakan beberapa pesanan, sampai Yoga mencarikan tempat untuk kerja Mang Udin.
***
“Saya ingin uang saya kembali!” kata seorang pelanggan sambil melemparkan sepatu ke depan mang Udin.
“Memangnya kenapa mbak?” tanya mang Udin sambil memeriksa sepatu yang sepertinya baik-baik saja.
“Kamu nggak lihat, ini salah. Saya maunya seperti di gambar ini. Yang ini warnanya pink, kenapa jadi merah?” bentak si wanita itu.
“Mohon maaf mbak. Saya perbaiki saja mbak, ditunggu saja beberapa hari. Nanti saya betulkan.” jawab mang Udin.
“Tidak mau! Lagi pula acaranya sudah lewat. Kamu harus tanggung jawab. Sepatunya kamu ambil saja, kembalikan uang saya.” bentak perempuan itu.
Mang Udin memeriksa bon pemesanan dan melihat angkanya, agak sedikit kaget, karena cukup mahal. Dia memeriksa cash box, ada uang yang cukup untuk mengembalikan ganti rugi, tetapi itu untuk membeli bahan. Dengan terpaksa mang Udin memberikan uangnya ke perempuan itu.
Perempuan itu pergi dengan ketus.
Mang Udin termenung. Selama menjadi tukang sol belum pernah mengalami perlakuan seperti ini, dibentak-bentak perempuan yang usianya lebih muda.
Juga, uang cash yang tidak cukup untuk membeli bahan-bahan untuk mengerjakan sepatu yang belum selesai.
Akhirnya, mang Udin memberanikan diri menelpon Yoga sambil menceritakan apa yang terjadi. Yoga pun datang.
“Tenang mang, itu mah biasa. Dalam pekerjaan ini selalu saja terjadi seperti ini. Itu bagian dari resiko.” jelas Yoga menenangkan mang Udin.
“Tapi kita jadi rugi. Dan itu salah saya. ” jawab mang Udin.
“Belum tentu mang. Mana sepatunya?” kata Yoga. Setelah mang Udin memberikan sepatunya. Yoga terus mengamati sepatu itu.
“Saya kira tidak apa-apa diganti warna merah. Waktu itu bahan warna pink habis, jadi saya ganti merah. Kelihatannya bagus saja. Bahkan lebih bagus.” jelas mang Udin.
“Saya setuju mang. Warna merah sebenarnya lebih cocok, paduan warna jadi lebih pas. Tapi dalam bisnis, keinginan pelanggan nomor 1. Seharusnya memang konfirmasi dulu kepadanya. Jelaskan apa yang terjadi dan apa saran kita. Keputusan tetap ditangan mereka.” jelas Yoga.
“Oh gitu ya …” jawab mang Udin mengambil pelajaran.
“Sudahlah, jangan dipikirkan. Ini pakai dulu uang ini untuk membeli bahan. Saya pergi dulu.” kata Yoga.
“Mau kemana mas?” tanya Mang Udin.
“Mau menawarkan sepatu ini kepada seseorang, sepertinya bisa laku lebih mahal.” jelas Yoga sambil tersenyum dan langsung menuju mobilnya.
Mang Udin hanya bengong menatap punggung Yoga sambil memegang uang yang baru saja diterimanya.
***
“Sepertinya ada yang dipikirin yah?”, tanya Yanti saat sedang menyiapkan makan malam.
“Itu, tadi ayah dapat pengalaman kurang menyenangkan.”, jelas mang Udin. “Ayah membuat kesalahan membuat sepatu, terus dimaki-maki oleh pemesannya dan minta uang kembali.”
“Yah … mungkin resiko profesi ini yah. Penghasilannya kan lebih besar, mungkin resikonya lebih besar juga. Ayah harus mempersiapkan mental untuk menghadapi hal-hal seperti ini. Juga supaya ayah lebih hati-hati dalam membuat sepatu.” kata Yanti menghibur suaminya.
“Iya juga. Mungkin hikmahnya itu. Akan lebih hati-hati dan mental ayah lebih kuat menghadapi pelanggan.”, kata mang Udin. “Saya lihat si mas Yoga tenang-tenang saja, mungkin mentalnya sudah tahan banting ya mah?”
“Betul, mungkin kalau mau menjadi pebisnis sukses, kita harus siap. Kita harus memantaskan diri sebagai pengusaha sukses. Jangan menyerah yah … !”, jelas Yanti sambil memasukan nasi ke piring buat mang Udin.
***
In syaa Allah bersambung ke Kisah Dua Tukang Sol berikutnya.
Kunjungi Juga:

Paket Umroh Bandung 2024 - 2025
Mau Umroh? Meski Anda Tidak Punya Uang dan Belum Siap?
Bagian 6 nya mana pak? Seru dan keren!
In syaa Allah. Do’akan.
Ditunggu bagian 6 y saya dapat Pelajaran. Berharga dari kisah ini terima. Kasih banyak
Pak apakah cerita ini masih berlanjut?
Ditunggu ya