| | |

Jangan Biarkan Nasi Menjadi Bubur Sia-sia Ubah Keterlanjuran Jadi Kekuatan Hidup

Ungkapan “nasi sudah menjadi bubur” seringkali diartikan sebagai akhir dari segalanya, namun benarkah demikian? Artikel ini menggali makna lebih dalam, menawarkan perspektif baru bahwa keterlanjuran hidup bukanlah vonis akhir, melainkan peluang untuk berkreasi dan menemukan kekuatan tersembunyi dalam setiap situasi.

Jangan Biarkan Nasi Menjadi Bubur Sia-sia Ubah Keterlanjuran Jadi Kekuatan Hidup

Pernahkah Anda mendengar ungkapan klise, “Nasi sudah menjadi bubur”? Ungkapan ini seringkali terucap ketika sebuah situasi telah berlalu dan sulit untuk diperbaiki. Namun, benarkah ungkapan ini mencerminkan sebuah kepastian yang tak terhindarkan, ataukah ia hanyalah sebuah pelarian dari tanggung jawab untuk berbenah? Artikel ini akan membawa Anda pada perspektif yang berbeda mengenai ‘keterlanjuran hidup’, membedah makna di balik nasi yang telah menjadi bubur, dan bagaimana kita bisa mengubah persepsi tersebut menjadi sumber kekuatan.

Nasi Sudah Menjadi Bubur Bukanlah Akhir Segalanya

Dalam hiruk pikuk kehidupan, tak jarang kita dihadapkan pada momen-momen ketika segala upaya terasa sia-sia, dan sebuah keputusan telah terlanjur diambil, atau sebuah peristiwa telah terjadi tanpa bisa ditarik kembali. Di sinilah ungkapan “Nasi sudah menjadi bubur” kerap muncul sebagai semacam pengakuan akan ketidakmampuan untuk kembali ke titik awal. Namun, benarkah seperti itu? Atau justru, ungkapan ini seringkali menjadi pembenaran atas ketidakmauankah untuk berupaya mencari solusi terbaik dari keadaan yang ada? Melalui kisah dan refleksi yang akan disajikan, semoga kita dapat memiliki pandangan yang lebih jernih dan konstruktif terhadap setiap ‘keterlanjuran’ yang mungkin kita hadapi dalam perjalanan hidup.

Nasi Sudah Menjadi Bubur? Apakah Kita Sungguh Tak Suka Bubur?

Bayangkan seorang mahasiswa yang menjalani perkuliahan tanpa gairah. Kehadirannya di kelas seringkali tidak menentu, tugas-tugas akademik menumpuk terbengkalai, beban Satuan Kredit Semester (SKS) yang harus diselesaikan masih menggunung, dan jarang sekali ia meluangkan waktu untuk belajar. Ketika ditanya alasannya, ternyata ia merasa terjebak dalam jurusan yang dipilihnya. Ia hanya ikut-ikutan teman, melihat mereka masuk ke jurusan tersebut, lantas ia pun ikut tanpa pertimbangan matang.

“Mengapa kamu tidak mencoba pindah saja ke jurusan lain yang kamu minati?” tanya Budi, seorang temannya yang peduli.

“Ah, sudahlah, nasi sudah menjadi bubur,” jawabnya enteng, seolah tak peduli dengan nasib pendidikannya.

“Apakah kamu akan tetap seperti ini terus?” desak Budi.

“Mau bagaimana lagi? Aku sudah bilang, nasi sudah jadi bubur, tidak bisa diperbaiki lagi,” argumennya, seolah ia telah mencapai kesimpulan final.

“Tapi kalau kamu pindah ke jurusan yang benar-benar kamu sukai, bukankah kamu akan lebih menikmati proses belajarmu?” tambah Budi lagi.

“Saya ini sudah tidak muda lagi, masa harus memulai kuliah dari awal? Saya terlambat menyadari kalau saya salah masuk jurusan,” jelasnya sambil merebahkan diri di kasur, meraih remot televisi, dan mengalihkannya perhatian pada tontonan.

“Benarkah tidak ada lagi yang bisa kamu lakukan?” selidik Budi, merasa heran dengan sikap temannya yang begitu pasrah.

“Tidak ada, aku sudah berulang kali mengatakannya, nasi sudah jadi bubur,” jawabnya dengan nada datar.

Nasi Sudah Menjadi Bubur Bukan Selalu Berarti Buruk

Melihat temannya yang telah kehilangan semangat, Budi terdiam sejenak. Ia merasa bingung dengan kepasrahan yang ditunjukkan temannya. Tiba-tiba, ia teringat pada seorang kenalannya yang juga pernah mengalami nasib serupa, salah memilih jurusan kuliah, namun memiliki sikap yang jauh berbeda. Budi pun pulang ke rumah dan segera menghubungi kenalannya tersebut.

“Jaka, setahuku dulu kamu pernah cerita kalau kamu salah memilih jurusan kuliah, ya?” tanya Budi kepada Jaka.

“Iya, memang benar saya salah memilih jurusan. Memangnya kenapa?” jawab Jaka.

“Yang membuatku heran, kenapa kamu tetap bersemangat menjalani kuliahmu, sementara teman saya yang mengalami hal sama malah menjadi malas dan tidak serius?”

“Yah, aku tidak tahu pasti. Dulu aku juga sempat merasa begitu. Tapi sekarang sudah tidak lagi,” jelas Jaka.

“Lalu, apa resepnya?” tanya Budi penuh antusias.

“Pertama, aku mencoba merelakan diri untuk menerima kenyataan bahwa aku berada di jurusan ini. Aku berpikir, mungkin inilah yang terbaik menurut Allah untukku saat ini. Jadi, aku terima saja apa adanya,” ujar Jaka.

“Terus?” tanya Budi, semakin bersemangat mendengar penuturan Jaka.

“Kedua, aku berusaha mencari cara untuk menggabungkan ilmu yang aku pelajari di jurusan ini dengan hobi dan minatku. Ternyata, dengan cara itu, aku bisa menikmati prosesnya. Memang benar, aku terlanjur memilih jurusan ini. Orang bilang, nasi sudah jadi bubur. Tapi bagiku, nasi yang sudah menjadi bubur itu justru bisa aku jadikan ‘bubur ayam spesial’ yang lebih nikmat dan bahkan mungkin lebih berharga daripada nasi biasa,” kata Jaka sambil tersenyum lebar.

“Oh, begitu…” gumam Budi, mulai tercerahkan.

“Ya, kalau kita terus menerus menyesali apa yang sudah terjadi, itu tidak akan ada gunanya. Dan mencoba mengubah bubur kembali menjadi nasi, itu jelas mustahil. Satu-satunya cara yang bisa kita lakukan adalah membuat bubur tersebut menjadi lebih lezat dan bernilai. Seperti aku, aku tambahkan ayam, telur, bumbu-bumbu rahasia lainnya, sehingga rasanya menjadi enak dan harganya pun lebih mahal,” jelas Jaka menambahkan.

Semua Tergantung Pilihan Makna Anda

Kisah di atas menunjukkan sebuah kebenaran mendasar: kondisi eksternal bukanlah penentu utama kebahagiaan atau kesuksesan kita, melainkan bagaimana kita memberi makna terhadap kondisi tersebut. Dalam analogi “nasi sudah menjadi bubur”, kedua individu dihadapkan pada situasi yang sama, namun mereka memilih untuk memberikan interpretasi yang berbeda. Ini adalah sebuah pelajaran berharga bahwa bukan keadaan yang membuat kita bersemangat atau justru menjadi patah arang. Begitu pula, bukan peristiwa yang membuat kita termotivasi atau justru terpuruk. Yang terpenting bukanlah apa yang terjadi pada diri kita, melainkan bagaimana kita menyikapi dan memberi makna pada setiap kejadian.

Sekarang, mari kita renungkan sejenak kehidupan kita. Bagaimana kondisi pikiran Anda saat ini? Apakah ada perasaan tidak berdaya, kehilangan semangat, merasa loyo, atau bahkan kecewa yang muncul akibat sebuah kondisi atau peristiwa tertentu? Cobalah untuk memikirkan makna lain dari situasi tersebut. Anda memiliki kebebasan penuh untuk memilih makna yang ingin Anda berikan.

Anda bisa memilih makna yang akan memberdayakan diri Anda, atau justru yang akan melemahkan Anda. Pilihan sepenuhnya ada di tangan Anda. Sebagaimana disampaikan dalam sebuah cerita motivasi, orang-orang sukses tidak lahir dari kesempurnaan semata, melainkan dari kemampuan mereka bangkit dari keterbatasan. Mereka datang dari berbagai latar belakang, negara, warna kulit, hingga status sosial ekonomi. Mereka yang mencapai kesuksesan bukanlah mereka yang terus-menerus menyerah dan menyalahkan keadaan. Sebaliknya, mereka adalah orang-orang yang memilih untuk memberikan makna positif terhadap setiap tantangan yang mereka hadapi.

Misalnya, situasi “tidak punya modal uang” bisa menjadi sebuah ujian. Apa makna yang Anda berikan pada situasi ini? Anda bisa saja memilih makna bahwa Anda tidak akan pernah bisa berbisnis karena kekurangan modal. Itu adalah pilihan Anda, dan pilihan itu akan membentuk realitas Anda. Namun, ada pilihan makna lain yang lebih memberdayakan. Anda bisa memaknai bahwa karena tidak punya modal, Anda dituntut untuk berpikir lebih kreatif, mencari solusi inovatif, dan menggunakan potensi serta sumber daya yang ada secara optimal. Ini tentang bagaimana kita bisa mengoptimalkan daya ungkit (leverage) dalam bisnis dan kehidupan.

Apakah Anda melihat perbedaannya? Perbedaan ini sangat signifikan dan akan menentukan langkah selanjutnya yang akan Anda ambil.

Oleh karena itu, cobalah untuk Anda sendiri yang menentukan makna dan hikmah dari apa yang sedang terjadi atau situasi yang sedang Anda hadapi. Berpikirlah dengan jernih, analisis secara mendalam, agar Anda dapat menemukan makna yang justru akan memberdayakan diri Anda, bukan malah melemahkan dan menjebak Anda dalam lingkaran kepasrahan.

Memahami Arti Nasi Sudah Menjadi Bubur dalam Konteks Kehidupan

“Nasi sudah menjadi bubur” adalah sebuah metafora yang dalam maknanya. Secara harfiah, nasi yang sudah berubah menjadi bubur tidak dapat kembali menjadi nasi utuh. Dalam konteks kehidupan, ini menggambarkan sebuah situasi di mana sebuah kejadian telah berlangsung, sebuah kesalahan telah terjadi, atau sebuah keputusan telah terambil dan tidak dapat diubah lagi. Seringkali, ungkapan ini digunakan untuk menyatakan kepasrahan, penyesalan, atau bahkan ketidakmampuan untuk melakukan perbaikan.

Makna nasi sudah menjadi bubur merujuk pada titik di mana sebuah perubahan menjadi permanen dan tidak dapat dibatalkan. Misalnya, sebuah proyek yang telah gagal total, sebuah hubungan yang telah kandas secara permanen, atau sebuah kesempatan yang telah terlewatkan selamanya. Dalam banyak kasus, ungkapan ini digunakan untuk menandai akhir dari sebuah harapan untuk kembali ke kondisi semula.

Namun, seperti yang telah dijelaskan, bukan berarti situasi ini adalah akhir dari segalanya. Metafora ini lebih kepada penekanan pada ketidakmungkinan untuk menarik kembali apa yang sudah terjadi, bukan pada ketidakmungkinan untuk bertindak selanjutnya. Ini adalah sebuah pengingat bahwa waktu terus berjalan, dan kita harus belajar untuk beradaptasi dan bergerak maju dari titik tersebut.

Kisah Inspirasi: Mengubah Keterlanjuran Menjadi Peluang

Kisah Jaka dalam artikel ini adalah kisah inspirasi yang luar biasa. Ia dihadapkan pada kenyataan bahwa ia salah memilih jurusan kuliah. Secara umum, ini adalah situasi yang sangat mungkin memunculkan perasaan kecewa dan kepasrahan. Banyak orang mungkin akan berhenti berjuang, merasa nasibnya telah ditentukan oleh kesalahan di masa lalu, dan akhirnya berkata, “Nasi sudah menjadi bubur.”

Namun, Jaka memilih untuk tidak terjebak dalam pola pikir tersebut. Ia tidak berusaha mengubah nasi kembali menjadi nasi (mengubah keputusan memilih jurusan). Sebaliknya, ia berfokus pada bagaimana membuat “bubur” yang sudah terlanjur ada menjadi lebih baik dan lebih bernilai. Ini adalah inti dari motivasi yang ingin disampaikan: ketika sesuatu sudah terlanjur terjadi, fokuslah pada apa yang bisa Anda lakukan dengan kondisi yang ada.

Jaka mengidentifikasi keselarasan antara ilmu jurusannya dengan hobinya. Ia tidak membiarkan “buburnya” menjadi bubur hambar. Ia menambahkan “topping” berupa minat dan keahliannya, sehingga menciptakan “bubur ayam spesial” yang unik, menarik, dan memiliki nilai lebih. Ini adalah contoh nyata dari pelajaran bahwa keterlanjuran hidup bukanlah vonis mati, melainkan sebuah kesempatan untuk berkreasi dan menemukan potensi baru.

Dalam dunia bisnis, ini dapat diartikan sebagai bagaimana seorang pengusaha yang produknya gagal di pasar, tidak lantas menyerah. Ia bisa belajar dari kegagalan tersebut, menganalisis kelemahan produk, dan kemudian menciptakan produk baru yang lebih baik, atau bahkan mengubah model bisnisnya. Ia tidak bisa menarik kembali produk yang sudah terlanjur gagal, tetapi ia bisa belajar dari kegagalan itu untuk menciptakan kesuksesan di masa depan. Ini adalah perencanaan jitu untuk masa depan berdasarkan pelajaran masa lalu.

Nasi Sudah Menjadi Bubur dalam Islam: Konsep Tawakal dan Ikhtiar

Dalam perspektif Islam, ungkapan “nasi sudah menjadi bubur” dapat dilihat melalui lensa konsep tawakal dan ikhtiar. Manusia diperintahkan untuk berusaha (ikhtiar) semaksimal mungkin dalam setiap urusan, namun hasil akhirnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT (tawakal). Ketika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi, meskipun telah berusaha, hal itu seringkali dipandang sebagai takdir atau ketetapan Allah yang memiliki hikmah tersembunyi.

Seorang Muslim tidak akan mudah menyerah dan berkata “nasi sudah menjadi bubur” dalam arti kepasrahan total tanpa usaha lebih lanjut. Sebaliknya, ia akan berikhtiar lagi untuk mencari solusi terbaik dari situasi yang ada, sambil tetap bertawakal kepada Allah. Jika hasil akhirnya tidak sesuai harapan, ia akan menerimanya dengan sabar, meyakini bahwa di balik setiap kejadian ada kebaikan yang mungkin belum terlihat.

Misalnya, jika seseorang telah kehilangan pekerjaan, ia tidak lantas berhenti berusaha mencari nafkah. Ia akan terus berikhtiar mencari pekerjaan lain, atau bahkan membuka usaha sendiri, sambil memohon pertolongan Allah. Ungkapan “nasi sudah menjadi bubur” dalam konteks ini lebih kepada penerimaan terhadap kenyataan bahwa pekerjaan yang hilang tidak bisa kembali, namun bukan berarti jalan hidup telah tertutup.

Dalam Islam, kita diajarkan untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah. Keterlanjuran hidup bukanlah alasan untuk berhenti berharap dan berusaha. Sebaliknya, ia bisa menjadi momentum untuk merenungi kembali langkah, memperbaiki diri, dan mencari jalan yang lebih baik lagi, tentunya dengan tetap memohon petunjuk dan pertolongan dari Sang Pencipta. Ini sejalan dengan semangat untuk tidak mudah putus asa.

Nasi Sudah Menjadi Bubur: Mengubah Mindset dan Pola Pikir

Perbedaan sikap antara kedua mahasiswa dalam cerita tersebut sangat bergantung pada mindset mereka. Mahasiswa pertama terjebak dalam pola pikir “victim” atau korban keadaan. Ia merasa tidak berdaya, menyalahkan keadaan, dan tidak melihat adanya solusi. Baginya, “nasi sudah menjadi bubur” adalah sebuah kenyataan mutlak yang tidak bisa diubah.

Sementara itu, Jaka menunjukkan pola pikir seorang pembelajar dan pencari solusi. Ia mengakui kenyataan bahwa ia salah memilih jurusan (nasi sudah menjadi bubur), namun ia tidak berhenti di situ. Ia melihat kenyataan itu sebagai sebuah peluang untuk berinovasi dan berkreasi. Ia mengubah perspektifnya dari “apa yang sudah terjadi” menjadi “apa yang bisa saya lakukan dengan apa yang sudah terjadi”.

Perubahan mindset ini sangat krusial. Jika kita terus menerus memegang teguh keyakinan bahwa “nasi sudah menjadi bubur” berarti “segalanya berakhir”, maka memang begitulah yang akan terjadi. Namun, jika kita memilih untuk melihatnya sebagai “nasi sudah menjadi bubur, mari kita buat bubur yang paling enak”, maka peluang baru akan terbuka.

Bagaimana cara mengubah pola pikir ini? Pertama, mulailah dengan mengenali pola pikir negatif yang sering muncul. Kedua, secara sadar tantang pikiran-pikiran tersebut. Tanyakan pada diri sendiri, “Apakah benar tidak ada lagi yang bisa saya lakukan?” atau “Apakah ada cara lain untuk melihat situasi ini?”. Ketiga, fokuslah pada solusi, bukan pada masalah. Alihkan energi Anda untuk mencari jalan keluar daripada meratapi apa yang sudah terjadi.

Solusi Mengatasi “Nasi Sudah Menjadi Bubur” dalam Hidup

Menghadapi situasi di mana “nasi sudah menjadi bubur” bukanlah akhir dari segalanya. Ada berbagai solusi dan cara untuk menyikapinya agar tidak terpuruk:

  1. Terima Kenyataan (Acceptance): Langkah pertama dan terpenting adalah menerima bahwa apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Penolakan hanya akan memperpanjang penderitaan dan menghambat proses penyembuhan atau adaptasi.
  2. Refleksi Diri dan Identifikasi Penyebab: Setelah menerima, lakukan refleksi diri untuk memahami mengapa situasi tersebut bisa terjadi. Pelajaran dari kesalahan masa lalu sangat berharga untuk mencegah terulangnya hal yang sama di masa depan.
  3. Fokus pada Apa yang Bisa Dikendalikan: Daripada meratapi apa yang tidak bisa diubah, fokuskan energi pada hal-hal yang masih bisa Anda kendalikan. Ini bisa berupa tindakan, sikap, atau upaya perbaikan di masa depan.
  4. Cari Peluang dalam Keterbatasan: Seperti kisah Jaka, carilah cara untuk mengubah “bubur” menjadi sesuatu yang lebih baik. Mungkin ada keterampilan baru yang bisa dipelajari, atau cara baru untuk memanfaatkan situasi yang ada.
  5. Adaptasi dan Inovasi: Dunia terus berubah. Ketika Anda dihadapkan pada “keterlanjuran hidup”, beradaptasi dengan kondisi baru dan berinovasi untuk menemukan jalan keluar adalah kunci.
  6. Belajar dari Kesalahan: Setiap kegagalan adalah guru yang berharga. Anggaplah situasi “nasi sudah menjadi bubur” sebagai sebuah pelajaran berharga yang akan membentuk Anda menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana.
  7. Jangan Menyerah dan Tetap Bersemangat: Kuncinya adalah menjaga semangat. Kepasrahan total tanpa usaha lebih lanjut bukanlah solusi. Teruslah bergerak, mencoba, dan berjuang.

Nasi Sudah Menjadi Bubur: Quotes dan Refleksi Kehidupan

Ungkapan “Nasi sudah menjadi bubur” telah menginspirasi banyak orang untuk merenungkan kembali sikap mereka terhadap hidup. Beberapa quotes yang sering muncul mencerminkan pesan-pesan berikut:

  • “Jangan menyesali nasi yang sudah menjadi bubur, tapi belajarlah cara membuat bubur yang paling lezat.”
  • “Keterlanjuran bukan akhir dari cerita, melainkan awal dari babak baru yang lebih bijak.”
  • “Kehidupan bukan tentang apa yang terjadi padamu, tetapi tentang bagaimana kamu merespons apa yang terjadi.”
  • “Setiap akhir adalah awal yang baru, jika kita mau melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.”

Refleksi dari ungkapan ini membawa kita pada pemahaman bahwa hidup adalah serangkaian proses yang dinamis. Tidak ada satu pun kejadian yang mutlak bersifat final tanpa adanya kemungkinan untuk beradaptasi dan berkembang. Bahkan ketika kita merasa telah membuat kesalahan besar atau menghadapi kegagalan yang menyakitkan, selalu ada kesempatan untuk bangkit dan memberikan makna baru pada pengalaman tersebut.

Kesimpulan: Menemukan Makna dalam Setiap Keterlanjuran

Pada intinya, makna nasi sudah menjadi bubur bukanlah tentang ketidakmungkinan untuk memperbaiki, melainkan tentang kebijaksanaan untuk menerima kenyataan dan mencari cara terbaik untuk bergerak maju. Ini adalah sebuah pengingat bahwa kita memiliki kekuatan internal untuk membentuk persepsi kita terhadap realitas. Ketika kita memilih untuk melihat ‘bubur’ sebagai sebuah kanvas kosong untuk berkreasi, daripada sebagai akhir dari sebuah hidangan, kita membuka pintu menuju peluang yang tak terduga.

Jadi, jika Anda pernah merasa “nasi sudah menjadi bubur” dalam hidup Anda, ingatlah kisah Jaka. Ingatlah bahwa Anda memiliki kendali atas bagaimana Anda menyikapi setiap situasi. Anda bisa memilih untuk meratap dan menyerah, atau Anda bisa memilih untuk berinovasi, beradaptasi, dan mengubah keterlanjuran tersebut menjadi sebuah karya seni yang unik dan berharga. Semua pilihan ada di tangan Anda, dan hikmah dari setiap kejadian selalu menanti untuk ditemukan oleh jiwa yang mau belajar dan berkembang.


FAQ: Pertanyaan Umum Seputar Nasi Sudah Menjadi Bubur

Apa arti dari nasi sudah menjadi bubur?

Secara metaforis, “nasi sudah menjadi bubur” berarti sebuah situasi atau kejadian telah berlalu, sebuah kesalahan telah terjadi, atau sebuah keputusan telah terambil dan tidak dapat diubah atau ditarik kembali. Ungkapan ini seringkali menyiratkan kepasrahan terhadap nasib atau ketidakmungkinan untuk kembali ke kondisi semula.

Bagaimana cara menyikapi nasi sudah menjadi bubur?

Cara menyikapi “nasi sudah menjadi bubur” adalah dengan pertama-tama menerima kenyataan bahwa apa yang sudah terjadi tidak bisa diubah. Setelah itu, fokuslah pada apa yang masih bisa Anda kendalikan. Lakukan refleksi diri untuk belajar dari kesalahan, dan carilah solusi kreatif untuk memperbaiki atau beradaptasi dengan kondisi yang ada. Jangan menyerah, tetapi teruslah mencari peluang dan bersemangat.

Apa hikmah dari ungkapan nasi sudah menjadi bubur?

Hikmah utama dari ungkapan ini adalah untuk mengajarkan kita tentang pentingnya penerimaan, adaptasi, dan inovasi. Ungkapan ini mengingatkan bahwa hidup terus berjalan, dan kita tidak bisa terus menerus meratapi masa lalu. Sebaliknya, kita harus belajar untuk membuat yang terbaik dari situasi yang ada, bahkan jika kondisi tersebut terasa tidak ideal.

Bagaimana contoh nasi sudah menjadi bubur dalam kehidupan?

Contohnya adalah seorang mahasiswa yang menyadari bahwa ia salah memilih jurusan kuliah setelah semester berjalan cukup lama. Ia tidak bisa lagi mengembalikan waktu dan biaya yang sudah terbuang untuk jurusan yang tidak diminatinya. Contoh lain adalah ketika sebuah proyek bisnis gagal total, atau ketika sebuah kesempatan kerja yang sangat baik telah terlewatkan karena penundaan.

Apa yang harus dilakukan ketika merasa nasi sudah menjadi bubur?

Ketika merasa “nasi sudah menjadi bubur”, langkah yang perlu dilakukan adalah: 1. Terima kenyataan. 2. Identifikasi penyebabnya dan belajar darinya. 3. Fokus pada tindakan yang bisa diambil saat ini. 4. Cari cara untuk mengubah “bubur” menjadi sesuatu yang lebih bernilai atau berguna. 5. Tetap jaga semangat dan terus berusaha mencari solusi.


20 Comments

  1. sungguh suguhan yang amat menarik untuk menambah semangat dan bisa di bilang suatu nasehat yang patut untuk di fikir ulang serta pantang menyerah.terkadang hal yang menurut kita adlah yang terbaik kan belum tentu menurut Allah.dan sekarang mana yang harus kita pilih terbaik menurut kita tetapi tidak mendapat ridho Allah atau terbaik menurut Allah dan InsyaAllah mendapat ridho dariNya

  2. Perjalanan kita kan ibarat episode film aja yg harus kita lakukan, semuanya kan ada skenarionya. Demikian Allah membuat skenario kehidupan manusia dan itu mau gak mau kita akan menjalaninya kelak. Insya Allah, setiap hal yg kita anggap penyesalan terkadang memberikan pelajaran yg banyak untuk bekal ke depannya, jadi jangan sesali hal yg telah terjadi sekarang. wallahu a’lam

  3. Terkadang kita menyesali sesuatu yang sudah trjadi dan amat berat untuk merelakan apa yang telah terjadi pada diri kita. Kita harus selalu belajar dan mencoba serta berlatih tuk menjadi orang yang ikhlas,…saya pernah dengan dosen saya Bilang “Kamu sesekali tidak akan pernah merasa sukses hingga kamu bisa melupakan keggalan kamu dan RASA SAKIT HATI KAMU”
    Thanks

  4. Manusia beriman selalu bersikap sabar, reda dan tawakkal. Bersikap ipositif seperti ini selalu mampu menjadikan hidupnya lebih ceria dan mampu menjadi insan yang lebih kreatif dan produktif.
    Selamat berjuang !!

  5. Yg menjadi pemikiran adalah, bagaimana seharusnya agar nasi tidak akan jadi bubur?
    klu memang telah jadi bubur, ya bagaimana menerima bubur dapat dimanfaatin?

  6. Dalam diri ini memang harus ada pengkonversi. Untuk mengubah dari baik menjadi lebih baik, dari kurang baik menjadi baik. Selalu mengambil hikmah apa yang Alloh berikan pada kita.Temukan diri kita!belajar keras!Cetak prestasi luar biasa!Kita pasti bisa!

  7. Lumayan lucu n menggelitik juga cerita motivasi tersebut. Intinya semua kembali ke pengendalian dan orientasi manusianya. Karena walaupun nasi sudah menjadi bubur, tapi kalo buburnya secara kreatif kita ubah menjadi bubur ayam spesial lalu kita jual dengan fitur menarik toh itu juga khan menghasilkan dan bermanfaat. itu hanya salah satu contoh illustrasi kecil kok. So be your self dan jangan menyerah begitu saja, jadikan kelemahanmu menjadi suatu senjata yang dahsyat dan sumber kekuatan baru untuk lebih maju dan tegar menghadapi kenyataan hiduo ini. Serahkanlah hidup dan matimu kepada Allah SWT, karena atas izin dan kuasa-Nya takdir manusia walaupun nasib manusia masih bisa kita ubah sendiri. Lets go to smart thinking.!!!

  8. Menarik juga. Ada satu pertanyaan, apakah mungkin merubah bubur menjadi nasi ? Biar gak ada lagi cerita, nasi sudah menjadi bubur….

  9. darimana kita tahu, jikalau itu yg terbaik bagi Allah swt ?
    mgkin g yg Allah inginkan adalah kita berusaha lagi, untuk mengambil test lagi agar kita pindah k jurusan yg lain??

    atw dri PTS (seandainya tidak lu2s SPMB) untuk berusaha lgi agar masuk PTN (lu2s SPMB)??

  10. Bener juga !
    Buat apa meratapi sebuah keputusan,yang penting jalani hidup dengan kesungguhan dan kerelaaan hati,otomatis enjoy akan di dapat !
    Semangat man

  11. Dalam setiap takdir yang Allah SWT berikan kepada kita, tentunya ada yang kita sukai dan mungkin juga ada yang kurang kita sukai. Cara yang terbaik adalah berfikir positif terhadap apa yang Allah anugerahkan kepada kita dengan cara mengubah sudut pandang negatif menjadi sudut pandang yang lebih positif. Oke selamat mencoba.

  12. Penyesalan tidaklah ada artinya dan hanya membuat hati menjadi runyam dan malas untuk bergerak melakukan perubahan yang kreatif. Rasa syukur terhadap apa yang terjadi pada diri kita akan menambah kebahagian dan perubahan hidup yang berarti bagi kita. Rasa syukur itulah yang menmbah dan membuka kejumudan akal kita dalam menghadapi setiap pemasalahan.

  13. memang kadang apa yang kita inginkan tak selamanya terjadi kpd kita dan apa yang terjadi pada kita tak seperti apa yang kita harapkan.
    tapi yakinlah Allah swt lebih tahu apa yang terbaik buat kita….

  14. mungkin yang dimaksud adalah: Iman kepada Qadla dan Qadar

    dan Q-ta yakin bahwa apa yang ditakdirkan Allah adalah yang terbaik bagi Q-ta. Kesedihan tak akan mengembalikan apa yang sudah terjadi di masa lalu. dan jangan resah, cemas, dan khawatir dengan apa yang akan terjadi esok hari, masa depan anda, karena semuanya masih gaib.

    hiduplah pada hari ini, karena hari ini adalah kehidupan anda. raihlah hari ini. lakukan yang terbaik. jangan menunggu sore hari jika pada pagi hari anda bisa berbuat kebaikan. dan jangan menunggu pagi hari jika anda dapat melakukan kebaikan di sore hari

    TRY TO DO THE BEST, LET’S ALLAH DOES THE REST

  15. Think positive and Act Positive. Saya ambil kutipan dari qur’an ( Mohon maaf jika salah )
    ” Boleh jadi kita membenci sesuatu tapi bagi allah itu lebih baik untuk mu. Dan boleh jadi kita senang sesuat tapi allah bagi allah tidak baik. Sesungguhnya allah maha tahu atas hamba-Nya

  16. We are what we think,be positive thinking?
    We’re the best creture that Allah create…
    Sedih n sesal cuma bikin penyakit.Is it righ?
    Afwan klo ada salah,wallahu ‘alam.
    Kunjungi ana d superzayedium.wordpress.com

  17. Innallaha la yughayiru bikaumin hatta yughayiru bi anfusihim….

    Nasib yang kita alami seharusnya merupakan akumulasi dari semua yng kita lakukakan di masa yang lalu

  18. setelah membaca kutipan di atas, saya merasa lega. karena kutipan tersebut mampu membangkitkan semangat belajar saya. Hal tersebut memang sedang saya alami saat ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *