|

Kisah Dua Tukang Sol (bag 7): Para Pencuri Mimpi

Ini akan kisah kelanjutan dari serial Kisah Dua Tukang Sol. Setelah mang Udin mengajarkan arti harapan ke sahabatnya Mang Nanang, mang Nanang memiliki sebuah harapan baru dan semangat baru. Sayangnya, dia bertemu dengan para pencuri mimpi. Apa yang terjadi?

Bagi Anda yang belum membaca cerita sebelumnya, silahkan sempatkan dulu membaca.

Para Pencuri Mimpi

kisah tukang sol

Setelah mendapatkan inspirasi dari temannya mang Udin, mang Nanang menghidupkan kembali impiannya untuk berbisnis ternak lele. Meski tidak luas, di kampungnya mang Nanang punya sebidang tanah yang bisa digunakan untuk membuat kolam lele.

Dia ingat cerita mang Udin yang katanya suka baca buku. Mang Nanang pun ingin lebih jauh mengetahui ilmu bisnis ternak lele. Dia ingat ada beberapa tempat di Bandung yang menjual buku bekas. Mudah-mudahan ada buku tentang ternak lele disana dengan harga yang murah.

Mang Nanang pun pergi ke tempat tersebut. Karena cukup jauh, dia naik angkot sambil mengistirahatkan kakinya yang sudah seharian jalan kaki. Alhamdulillah, hari ini pendapatannya lumayan sehingga bisalah membeli buku asal tidak terlalu mahal.

Sesampainya di daerah yang banyak penjual buku bekas, mang Nanang pun turun. Dia menelusuri para pedagang buku bekas sambil memikul pikulannya. Matanya begitu jeli melihat judul-judul buku yang sebagian besar tidak dia mengerti.

Sampai dia menemukan buku agak lusuh, ada gambar ikan lele di jilidnya. Dia menyimpan pikulannya dan jongkok melihat-lihat buku tersebut. Dia membuka halaman-halaman secara sekilas.

“Mang Nanang sedang apa?” tanya seseorang di belakangnya.

Ketika di tengok, ternyata mang Dede, sesama tukang sol juga.

“Eh, Dede. Ini De, saya sedang cari buku tentang ternak lele. Mang Dede sedang apa?” kata mang Nanang balik tanya.

“Saya memang keliling sekitar sini Mang. Yuk ah, kita ngobrol disana sambil minum cendol. Sudah lama kita tidak ketemu.” kata mang Dede sambil menunjuk pedagang cendol.

Kisah Dua Tukang Sol (bag 7): Para Pencuri Mimpi
Gambar hanya ilustrasi, didapat dari Google

“Oh boleh.” kata Mang Nanang yang kebetulan sedikit haus.

Mereka pun duduk di bangku yang disediakan tukang cendol. Mereka memesan 2 gelas, sambil menikmati segarnya es cendol, mereka pun mulai ngobrol. Mereka kenal karena sering ke temu di penjual bahan-bahan sepatu di Cibaduyut.

“Kenapa mang Nanang ingin ternak lele?” tanya mang Dede membuka obrolan.

“Yah, ini impian saya sejak dulu De.” jawab mang Nanang. Mang Nanang memang salah satu tukang sol yang sudah cukup berumur (60an), Sementara Dede lebih muda (40an), sehingga wajar kalau mang Nanang memanggil nama.

“Oh. Sudah bosan jadi tukang sol mang?” tanya Dede menyelidik.

“Enggak juga, malah mamang bersyukur, selama ini mendapatkan rezeki karena menjadi tukang sol. Hanya saja mamang ingin lebih baik, dan mamang punya impian ingin ternak lele, memanfaatkan tanang yang nganggur di kampung.” jelas mang Nanang.

“Oh, makanya mang Nanang mau membeli buku tentang lele ya?” tanya mang Dede lagi.

“Betul, kan kalau mau bisnis itu harus tau ilmunya.” kata mang Nanang.

“Bukan mang, yang penting mah modal yang besar. Kalau tidak punya modal, nggak akan bisa.” kata mang Dede.

“Betul itu, harus punya modal besar.” kata tukang es cendol menimpali. “Teman saya, dia habis puluhan juta, tapi bangkrut sekarang.”

“Bangkrut kenapa mang?” tanya mang Nanang ke tukang es cendol.

“Karena butuh modal yang lebih besar. Saat itu lele semuanya mati, tidak bisa dipanen, akhirnya rugi besar. Untuk membeli benih lagi dia sudah tidak sanggup, akhirnya bangkrut.” jelas tukang es cendol.

“Wah tidak mudah juga ya …” kata mang Nanang dengan tatapan polos, hatinya ciut untuk melanjutkan bisnis lele.

“Sudahlah mang, mending teruskan saja jadi tukang sol. Selama ini kita baik-baik saja dan kita hidup dari sini.” kata meng Dede.

“Betul itu, saya juga syukuri saja menjadi tukang Es Cendol sampai setua ini.” kata tukang es cendol. “Kita nikmati saja, apalagi kita sudah tua. Sudah bisa bertahan pun, sudah alhamdulillah, kita syukuri saja apa yang ada.” Tukang cendol ini usianya tidak jauh dari mang Nanang.

Mang Nanang hanya termenung. Sambil menikmati es cendol yang sudah tidak nikmat lagi. Dia membayangkan sampai tua dia harus menerima jadi tukang sol. Sebenarnya tidak ada masalah dengan menjadi tukang sol, sebuah usaha yang halal dan mulia. Hanya saja, dia ingin meraih yang lebih baik.

“Tapi, bang Soleh dan si Udin, dia hidupnya lebih baik sekarang.” kata mang Nanang teringat kedua orang temannya.

“Kalau bang Sholeh saya tau, dia sudah sukses sekarang. Memang mang Udin sukses juga?” tanya meng Dede.

Sementara tukang Cendol melayani pembeli lain sambil tetap mencuri dengar.

“Betul, beberapa hari lalu saya ketemu Udin. Rumah kontrakannya jadi lebih bagus dan lebih besar dan tidak keliling lagi. Dia sudah makmur sekarang.” cerita mang Nanang.

“Oh, syukur atuh kalau begitu. Tapi mang, mereka beruntung. Kita tidak seberuntung mereka. Kalau pun kita mencoba seperti mereka, kalau sudah takdir jadi tukang sol, ya sudah. Kita harus menerima takdir mang.” kata mang Dede.

“Mengapa mereka ditakdirkan lebih baik tetapi kita tidak?” tanya mang Nanang.

“Ah kata siapa mereka lebih baik? Mereka bisa saja lebih banyak uang, tetapi belum tentu lebih bahagia kita. Kalau kita pandai menyukuri apa yang kita punya, kita akan bahagia. Jadi, kalau menurut saya, syukuri saja yang sudah ada, tidak usah mikir yang lain.” kata tukang cendol menimpali lagi.

Mang Nanang hanya terdiam. Es cendolnya sudah habis.

“Tambah lagi mang.” kata mang Nanang sambil menyodorkan gelas ke tukang cendol.

“Oh boleh.” katanya sambil mengambil gelas diiringi senyum gembira. Dia melanjutkan, “Apalagi untuk orang seumuran kita. Sudahlah, jangan terlalu mikirin dunia. Rajin saja ibadah, kemudian syukuri yang ada. Kita akan bahagia.”

Mang Nanang hanya terdiam. Dalam pikiran terkecamuk antara tetap ingin hidup lebih baik dan pengaruh perkataan mang Dede dan tukang cendol. Keraguan datang. Terlintas dalam benaknya kalau dia tetap mau menjadi tukang sol saja.

Setelah selesai ngobrol, mereka pun berpisah. Keraguan cukup menguasai pikiran mang Nanang. Haruskah dia mengubur mimpinya?

Saat dia sedang berjalan setengah melamun, dia melewati sebuah Mall yang namanya cukup akrab. Dia teringat bang Sholeh, kalau tidak salah, dia memiliki service sepatu di mall ini.

Timbul sebuah ide, sekalian jauh dari rumah, dia mau menemui bang Sholeh untuk minta pendapatnya. Atau bang Sholeh akan memberi peluang bisnis seperti ke mang Udin.

Apa yang dikatakan bang Sholeh? Tunggu pada kelanjutan cerita ini.


Kunjungi Juga:

Mau Umroh? Meski Anda Tidak Punya Uang dan Belum Siap?

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WordPress Anti Spam by WP-SpamShield