Arsitek Masa Depan: Melepas Belenggu ‘Seandainya’, Meraih Kekuatan ‘Qadarullah’
Di dalam galeri pikiran kita, ada sebuah ruangan yang sering kita kunjungi, namun jarang membawa ketenangan. Ruangan itu adalah museum masa lalu. Di dalamnya, kita memajang diorama kegagalan, memutar film penyesalan, dan mendengarkan rekaman suara yang terus berbisik, “Seandainya…”
“Seandainya aku lebih rajin belajar, pasti aku lulus.”
“Seandainya aku menerima tawaran pekerjaan itu, hidupku pasti lebih baik sekarang.”
“Seandainya aku tidak mengucapkan kata-kata itu, hubungan kami pasti masih utuh.”
Bisikan-bisikan ini, bagai hantu dari masa lalu, menguras energi kita di masa kini dan merampas harapan kita akan masa depan. Kita menjadi tawanan dalam penjara yang kita bangun sendiri, dengan jeruji bernama penyesalan. Namun, Islam, sebagai agama yang memuliakan akal dan menenangkan jiwa, menawarkan sebuah kunci pembebas. Kunci itu terukir indah dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebuah panduan untuk menjadi arsitek bagi masa depan kita, bukan sekadar menjadi kurator museum masa lalu.

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, “Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu”. Tetapi katakanlah, “Qadarullah wa ma sya-a fa’al* (hal ini telah ditakdirkan Allâh dan Allâh berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya). Karena ucapan “seandainya” akan membuka pintu perbuatan syaitan”. [HR. Muslim].
Mari kita bedah bersama mahakarya motivasi dari lisan terindah ini, dan temukan peta jalan menuju kehidupan yang lebih kuat, fokus, dan penuh rida.
DNA Seorang Pemenang: Memahami Makna Kekuatan Sejati
Hadist agung ini dibuka dengan sebuah deklarasi yang membakar semangat: “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan.”
Pernyataan ini bukan sekadar perbandingan, melainkan sebuah undangan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita di hadapan Allah. Kekuatan yang dimaksud di sini bukanlah kekuatan yang dangkal. Ia adalah sebuah sinergi dari berbagai dimensi yang membentuk karakter seorang pemenang sejati di mata Sang Pencipta.
Kekuatan Mental dan Spiritual:
Ini adalah fondasinya. Mukmin yang kuat memiliki ketahanan batin yang luar biasa. Ia tidak mudah goyah oleh badai cobaan dan tidak terbuai oleh angin pujian. Imannya kokoh laksana gunung, keyakinannya pada janji Allah tak tergoyahkan. Kekuatan ini lahir dari kedekatannya dengan Allah melalui ibadah yang khusyuk, zikir yang membasahi lisan, dan tadabur Al-Qur’an yang mencerahkan kalbu. Ia tahu bahwa ia tidak pernah sendirian, sehingga ia tidak merasa lemah atau putus asa.
Kekuatan Intelektual dan Visi:
Mukmin yang kuat adalah seorang pembelajar seumur hidup. Ia “bersungguh-sungguh untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu”. Kalimat ini mendorong kita untuk proaktif dalam mencari ilmu, mengasah keterampilan, dan memahami dunia di sekitar kita. Ia tidak menunggu kesempatan datang, ia menciptakannya. Ia memiliki visi yang jelas untuk masa depannya, baik di dunia maupun di akhirat, dan ia menyusun strategi untuk mencapainya.
Kekuatan Aksi dan Produktivitas:
Iman tanpa amal adalah seperti pohon tanpa buah. Mukmin yang kuat menerjemahkan iman dan ilmunya menjadi tindakan nyata. Ia adalah pribadi yang energik, disiplin, dan tidak menyia-nyiakan waktu. Ia bekerja keras dalam profesinya, berbakti kepada keluarganya, dan berkontribusi bagi masyarakatnya. Ia paham bahwa setiap tetes keringat yang ia keluarkan dalam kebaikan adalah wujud dari kesungguhannya sebagai hamba.
Gabungan dari kekuatan inilah yang membuatnya “lebih baik dan lebih dicintai Allâh”. Mengapa? Karena mukmin yang kuat memiliki kapasitas lebih besar untuk memberi manfaat. Ia bisa menolong yang lemah, menyebarkan ilmu, membangun peradaban, dan menjadi duta keindahan Islam bagi dunia. Namun, indahnya Islam, bahkan mukmin yang lemah pun—selama masih ada iman di hatinya—tetap memiliki kebaikan dan berada dalam naungan rahmat Allah. Ini adalah pesan bahwa semua orang memiliki titik awal untuk bertumbuh.
Racun Manis Bernama ‘Seandainya’
Setelah memotivasi kita untuk menjadi kuat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung menunjuk pada salah satu virus paling berbahaya yang bisa melemahkan kita: penyesalan yang berlarut-larut. Beliau bersabda, “Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, “Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu”.”
Mengapa kalimat “seandainya” begitu dilarang? Bukankah evaluasi diri itu penting? Tentu saja penting, namun ada perbedaan fundamental antara evaluasi yang konstruktif dengan ratapan yang destruktif. Kalimat “seandainya” yang terlarang adalah yang membawa kita pada penyesalan buta, bukan pada pembelajaran.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan alasannya: “Karena ucapan ‘seandainya’ akan membuka pintu perbuatan syaitan”.”
Ini adalah peringatan yang sangat serius. “Seandainya” adalah celah kecil di benteng pertahanan jiwa kita. Begitu kita membukanya, setan akan menyelinap masuk dan melancarkan serangannya dari dalam. Bagaimana cara kerjanya?
- Menanamkan Ketidakpuasan pada Takdir: Serangan pertama setan adalah membuat kita tidak puas dengan ketetapan (Qadar) Allah. Ia akan membisikkan, “Lihat? Rencana Allah ini tidak sebaik rencanamu. Seandainya kamu ikuti caramu, pasti lebih baik.” Ini adalah bibit kesombongan dan pemberontakan halus terhadap kebijaksanaan Allah.
- Menyulut Api Penyesalan dan Kesedihan: Setan akan memutar ulang adegan kegagalan kita tanpa henti. Ia akan memperbesar kesalahan kita dan mengecilkan hikmah di baliknya. Hasilnya? Kita tenggelam dalam lautan kesedihan yang melumpuhkan, menguras energi yang seharusnya kita gunakan untuk bangkit.
- Menebar Benih Saling Menyalahkan: Dari “seandainya aku…”, pikiran akan mudah bergeser menjadi “seandainya dia…”. Kita mulai menyalahkan orang lain, keadaan, atau bahkan takdir itu sendiri. Ini merusak hubungan sosial dan mengikis rasa syukur.
- Membawa pada Keputusasaan: Puncak serangan setan adalah keputusasaan (al-ya’su), yaitu hilangnya harapan pada rahmat Allah. Ketika kita terlalu lama meratap, kita bisa sampai pada kesimpulan keliru bahwa hidup kita sudah hancur dan tidak ada lagi harapan. Ini adalah dosa besar, karena meragukan luasnya ampunan dan kekuasaan Allah untuk mengubah keadaan.
Pada intinya, jebakan “seandainya” mengalihkan fokus kita dari Allah kepada diri kita sendiri yang lemah, dari masa depan kepada masa lalu yang tak bisa diubah, dan dari harapan kepada keputusasaan.
Kalimat Sakti Sang Pembebas: “Qadarullah wa Ma Sya-a Fa’al”
Setelah menutup satu pintu yang berbahaya, Islam selalu membukakan pintu lain yang penuh cahaya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kita kalimat penawarnya, sebuah mantra spiritual yang membebaskan jiwa: “Tetapi katakanlah, ‘Qadarullah wa ma sya-a fa’al’ (hal ini telah ditakdirkan Allâh dan Allâh berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya).”
Kalimat ini jauh lebih dari sekadar ucapan pasrah. Ia adalah deklarasi iman, sebuah sikap mental yang mengubah segalanya. Mari kita bedah kekuatannya.
“Qadarullah” (Ini adalah Takdir Allah):
Bagian pertama ini adalah penyerahan total. Ini adalah momen di mana kita meletakkan beban berat dari pundak kita dan menyerahkannya kepada Yang Maha Kuat. Mengucapkan ini berarti kita mengakui: “Ya Allah, aku telah berusaha sekuat tenagaku. Hasil ini adalah di luar kendaliku, dan aku menerima bahwa ini adalah bagian dari skenario-Mu yang agung.” Ini adalah tindakan yang memutus rantai analisis berlebihan dan penyesalan. Ini adalah titik hening setelah badai, sebuah momen untuk menerima realitas apa adanya.
“Wa Ma Sya-a Fa’al” (Dan Apa yang Ia Kehendaki, Ia Lakukan):
Bagian kedua ini adalah pengakuan atas kedaulatan mutlak Allah. Ini menanamkan rasa takjub dan hormat pada kekuasaan-Nya. Jika Allah berkehendak sesuatu terjadi, tidak ada satu kekuatan pun di alam semesta yang bisa menghalanginya. Sebaliknya, jika Ia tidak berkehendak, seluruh dunia pun bersatu tidak akan bisa mewujudkannya. Kesadaran ini memberikan ketenangan luar biasa. Kita berhenti merasa bahwa kitalah penentu segalanya. Kita hanyalah aktor yang berusaha memainkan peran terbaik, sementara Sutradara sesungguhnya adalah Allah.
Menggabungkan keduanya menciptakan sebuah mindset yang luar biasa kuat:
- Mengubah Fokus: Dari menyalahkan diri sendiri menjadi meyakini kebijaksanaan Ilahi.
- Mengubah Emosi: Dari frustrasi dan kesedihan menjadi rida dan ketenangan.
- Mengubah Perspektif: Dari melihat musibah sebagai akhir dari segalanya menjadi melihatnya sebagai episode dalam sebuah kisah besar yang pasti berakhir baik bagi orang beriman.
Cermin Kehidupan: Belajar dari Para Master Fokus-Masa-Depan
Sejarah Islam penuh dengan contoh nyata penerapan prinsip ini.
Lihatlah kisah Nabi Adam ‘alaihissalam. Setelah melakukan kesalahan pertama, ia tidak meratap, “Seandainya aku tidak mendekati pohon itu.” Tidak. Ia dan Hawa langsung mengambil langkah maju. Mereka berpaling kepada Allah dengan doa yang diabadikan dalam Al-Qur’an: “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi kami rahmat, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” Mereka mengganti penyesalan dengan pertobatan, mengganti “seandainya” dengan permohonan. Itulah langkah pertama menuju masa depan baru umat manusia.
Renungkanlah ketegaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam saat menghadapi “Tahun Kesedihan”. Dalam waktu singkat, beliau kehilangan istri tercinta, Khadijah, dan paman pelindungnya, Abu Thalib. Dakwahnya di Makkah terasa buntu. Ia pergi ke Thaif mencari harapan, namun yang didapat adalah lemparan batu dan caci maki hingga kakinya berdarah. Dalam kondisi terendah itu, apakah beliau berkata, “Seandainya Khadijah masih ada untuk menghiburku?” atau “Seandainya Abu Thalib masih hidup untuk melindungiku?” Tidak. Beliau mengangkat tangannya, mengucapkan doa yang paling tulus kepada Allah, menerima Qadar-Nya, dan terus melangkah. Apa jawaban Allah? Allah menghadiahkan perjalanan Isra’ Mi’raj, sebuah peneguhan dan visi masa depan yang luar biasa.
Dalam kehidupan modern, prinsip ini relevan di setiap lini. Seorang pengusaha yang bisnisnya bangkrut memiliki dua pilihan. Ia bisa terjebak dalam, “Seandainya aku tidak mengambil pinjaman itu,” yang akan menenggelamkannya dalam utang dan depresi. Atau, ia bisa berkata, “Qadarullah wa ma sya-a fa’al. Allah menghendaki ini terjadi. Apa pelajaran yang bisa kuambil? Mungkin model bisnisku keliru. Bismillah, dengan sisa yang ada dan ilmu baru ini, aku mulai lagi dari nol.” Yang kedua adalah jalan seorang mukmin yang kuat.
Seorang mahasiswa yang tidak lulus ujian skripsi. Alih-alih meratap, “Seandainya aku memilih dosen pembimbing yang lain,” ia bisa berkata, “Qadarullah. Mungkin Allah ingin aku lebih menguasai materi ini. Mungkin Allah sedang melatih mentalku. Aku akan perbaiki, belajar lagi, dan hadapi lagi dengan lebih siap.”
Panduan Praktis: Menginstal ‘Firmware’ Anti-Penyesalan
Bagaimana kita bisa menginternalisasi prinsip agung ini dan menjadikannya refleks dalam kehidupan kita?
- Fase Pra-Aksi: Ikhtiar Maksimal, Tawakal Total.
- Luruskan Niat: Mulailah segala sesuatu karena Allah. Ini akan membuat setiap usaha bernilai ibadah.
- Berilmu Sebelum Beramal: Pelajari, riset, dan rencanakan dengan sebaik-baiknya. Jangan bertindak gegabah.
- Kerahkan Usaha Terbaik: Berikan 100% komitmen. Jangan sisakan ruang untuk penyesalan di kemudian hari dengan berkata, “Aku belum berusaha maksimal.”
- Libatkan Allah: Iringi setiap langkah dengan doa. Lakukan salat Istikharah untuk keputusan besar. Mintalah petunjuk dan pertolongan-Nya tanpa henti.
- Fase Pasca-Hasil: Respon Cepat, Kunci Pintu Setan.
- Jika Sukses: Ucapkan segera, “Alhamdulillah, hadza min fadhli Rabbi” (Segala puji bagi Allah, ini adalah karunia dari Tuhanku). Sadari itu bukan semata karena kehebatanmu.
- Jika Gagal (Secara Lahiriah): Ucapkan segera, “Qadarullah wa ma sya-a fa’al”. Jadikan ini sebagai respons otomatis pertama, sebelum pikiran negatif sempat terbentuk. Ini seperti memasang perisai sebelum panah setan datang.
- Fase Bergerak Maju: Belajar dan Bangkit.
- Cari Hikmah, Bukan Kesalahan: Alihkan pertanyaan dari “Mengapa ini terjadi padaku?” menjadi “Apa yang Allah ingin ajarkan kepadaku melalui ini?”.
- Evaluasi Konstruktif: Setelah hati tenang, barulah lakukan evaluasi proses. “Apa yang bisa saya perbaiki untuk ikhtiar selanjutnya?” Ini bukan lagi ratapan, melainkan strategi.
- Segera Ambil Langkah Berikutnya: Jangan biarkan diri Anda berlama-lama dalam jeda kesedihan. Segera buat rencana baru, ambil langkah kecil pertama, dan mulailah bergerak. Gerakan adalah obat terbaik untuk kesedihan.
Kesimpulan: Anda adalah Arsiteknya, Bukan Tawanannya
Masa lalu adalah fondasi, bukan rumah tempat kita tinggal. Ia adalah sekolah, bukan penjara seumur hidup. Hadist yang agung ini memberikan kita cetak biru untuk membangun sebuah kehidupan yang kokoh di atas fondasi masa lalu, dengan pilar-pilar kekuatan, dan atap berupa harapan yang menjulang ke langit.
Pilihan ada di tangan kita setiap hari. Apakah kita akan menghabiskan energi kita untuk memoles kembali diorama penyesalan di museum masa lalu? Ataukah kita akan mengambil pena dan kertas, dengan gagah merancang bangunan masa depan kita, sambil berbisik, “Bismillah”?
Mari kita buat komitmen hari ini. Setiap kali pintu “seandainya” hendak terbuka di benak kita, kita akan segera menguncinya dengan kunci emas “Qadarullah wa ma sya-a fa’al”. Dengan melakukan itu, kita tidak hanya membebaskan diri kita dari rantai penyesalan, tetapi kita juga menegaskan identitas kita sebagai seorang mukmin yang kuat, yang dicintai Allah—seorang hamba yang rida pada takdir-Nya, dan seorang arsitek yang bersemangat dalam merancang masa depannya. Karena masa depan terlalu berharga untuk disandera oleh masa lalu. Bangkitlah, karena Allah bersama orang-orang yang tidak pernah menyerah.