Jati Diri dalam Islam Siapa Aku Untuk Apa Aku Ada Kemana Aku Pergi
Banyak orang bingung mencari jati diri, terjebak pada bakat semata. Padahal, Islam menawarkan panduan lengkap tentang siapa diri kita, untuk apa kita hidup, dan ke mana tujuan akhir kita. Memahami hakikat ini adalah kunci hidup bermakna dan terarah, menyelamatkan kita dari bahaya salah memahami jati diri yang fatal.

Konsep jati diri, sebuah pemahaman fundamental tentang siapa diri kita sesungguhnya, seringkali menjadi labirin yang membingungkan bagi banyak individu. Istilah “mencari jati diri” telah menjadi frasa umum yang menggambarkan pergolakan internal dalam menemukan identitas dan tujuan hidup. Apakah Anda telah berhasil menyingkap tabir jati diri Anda, atau masihkah Anda dalam pencarian yang tak berujung? Pertanyaan ini bukanlah sekadar renungan filosofis biasa, melainkan sebuah pondasi krusial yang menentukan arah dan kualitas seluruh perjalanan hidup kita.
Terlepas dari apakah Anda telah berhasil menemukan konsep jati diri Anda atau masih dalam proses pencarian, sangat penting untuk melakukan verifikasi ulang: apakah pemahaman kita tentang jati diri sudah benar? Jika ada kesalahan dalam mendefinisikannya, maka ini adalah sebuah bahaya salah memahami jati diri yang sangat serius. Mengapa demikian? Karena setiap tindakan, setiap keputusan, dan setiap perilaku kita akan berakar pada konsep diri yang kita yakini. Jika dasar pemahaman ini keliru, maka seluruh bangunan kehidupan kita, termasuk tindakan dan perilaku kita, berpotensi menjadi salah. Dampaknya bukan hanya sebatas kegagalan di dunia, melainkan juga dapat membawa kita pada kerugian besar di akhirat kelak. Oleh karena itu, menyelami pentingnya memahami jati diri dari perspektif yang benar adalah sebuah keharusan, bukan pilihan.
Mengurai Makna Jati Diri: Sebuah Perspektif Mendalam
Seringkali, ketika seseorang ditanya mengenai makna jati diri, mereka akan merujuk pada tiga pertanyaan fundamental yang mencoba menjawab esensi keberadaan:
- Siapa aku?
- Dari mana aku berasal?
- Dan aku mau kemana?
Ketiga pertanyaan ini, meskipun terlihat sederhana, sesungguhnya membutuhkan pemikiran yang sangat mendalam dan introspeksi yang jujur untuk menemukan jawaban yang paling akurat. Realitanya, tidak sedikit orang yang merasa kebingungan, bahkan frustrasi, dalam mencoba menjawabnya. Akhirnya, banyak yang memilih untuk mengabaikan pertanyaan-pertanyaan ini dan menjalani hidup seolah-olah tanpa arah yang jelas, dengan filosofi “yang penting, jalani saja hidup ini.” Namun, pendekatan ini justru membawa pada bahaya salah memahami jati diri yang mendalam.
Mengapa Kita Tidak Boleh Mengabaikan Penemuan Jati Diri?
Apakah kita perlu ‘meributkan’ atau mempermasalahkan konsep mencari jati diri? Jawabannya adalah mutlak ya. Memahami siapa aku dalam Islam adalah fundamental. Jika kita tidak mengetahui siapa diri kita, lantas untuk apa kita hidup? Hidup kita akan menjadi bagaikan kapal tanpa nahkoda, terombang-ambing tanpa arah, tanpa makna, dan tanpa arti yang sejati. Bagaimana mungkin kita bisa merasakan hidup yang bermakna sementara kita sendiri tidak mengetahui esensi keberadaan kita dan kemana tujuan akhir perjalanan ini? Mengabaikan penemuan jati diri berarti kita rela membiarkan hidup berlalu begitu saja, tanpa sebuah tujuan hidup dalam Islam yang jelas, tanpa kontribusi yang berarti, dan tanpa pemahaman yang mendalam mengenai mencari makna hidup agar hidup lebih bermakna. Inilah mengapa pentingnya memahami jati diri tidak bisa diabaikan; kecuali Anda memang menginginkan sebuah kehidupan yang hampa.
Bakat dan Ketertarikan: Apakah itu Jati Diri Kita?
Tentu saja, kita semua menyadari bahwa setiap individu memiliki potensi diri manusia Islam dan keunikan masing-masing. Menemukan kelebihan, bakat, dan potensi unik yang kita miliki tentu saja sangat penting dalam menunjang kehidupan kita di dunia ini. Mengenali apa yang kita sukai dan apa yang kita kuasai dapat membantu kita meraih kesuksesan dalam karier atau hobi. Namun, pemahaman yang keliru seringkali menyamakan bakat dan jati diri. Mencari jati diri tidaklah sebatas menemukan bakat spesial kita atau mengidentifikasi ketertarikan personal. Kita juga tidak bisa serta-merta mengatakan bahwa seseorang yang sukses secara materi atau profesional sudah otomatis menemukan jati dirinya yang sejati. Keunikan dan bakat adalah bagian dari apa yang Allah anugerahkan kepada kita sebagai sarana untuk menjalankan peran kita di dunia, tetapi itu bukanlah keseluruhan dari pengertian jati diri Islam, lalu di manakah kita dapat menemukan jawaban yang benar? Jawabannya jelas: tidak ada yang lebih mengetahui hakikat diri kita selain Yang menciptakan kita, yaitu Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Mengapa kita harus bersusah payah mencari makna jati diri dari selain Allah, dari konsep-konsep buatan manusia yang rentan terhadap kesalahan dan perubahan? Mengapa hidup kita harus dikendalikan oleh pemahaman konsep jati diri yang bukan dari Allah? Ini adalah sebuah pertanyaan retoris yang sangat penting, sebab hanya dari petunjuk Allah-lah kita akan menemukan jawaban yang tepat dan benar, dijamin tidak akan salah, sehingga hidup kita akan menjadi jauh lebih berarti, terarah, dan bermakna sesuai dengan tujuan penciptaan kita.
Tentu saja, Anda tetap diperbolehkan, bahkan sangat dianjurkan, untuk terus menggali dan mengembangkan bakat serta potensi yang telah Allah anugerahkan kepada Anda. Proses ini merupakan bagian dari upaya kita sebagai manusia sebagai khalifah di muka bumi. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa jati diri itu bukanlah sebatas identifikasi bakat atau keunikan personal semata. Itu adalah bagian dari anugerah Allah kepada Anda, namun bukanlah keseluruhan dari hakikat manusia yang sesungguhnya. Konsep diri Islami yang menyeluruh akan membimbing kita untuk menempatkan bakat dan potensi pada tempatnya yang benar, sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu menggapai ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, mencari dalil Al-Quran tentang jati diri adalah langkah awal yang paling sahih dan terjamin kebenarannya.
Jati Diri Manusia Sesungguhnya dalam Pandangan Islam
Untuk memahami jati diri manusia sesungguhnya, Islam memberikan jawaban yang sangat jelas dan komprehensif terhadap ketiga pertanyaan fundamental tersebut, yang semuanya bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah.
1. Siapa Aku? (Hakikat Manusia dalam Islam)
Siapa aku dalam Islam? Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dengan penuh kemuliaan. Kita diciptakan dari tanah atau saripati air yang hina, kemudian ditiupkan ruh oleh Allah. Penciptaan yang unik ini menempatkan manusia pada kedudukan yang istimewa. Proses penciptaan ini bukan sekadar pembentukan fisik, melainkan juga meliputi pemberian peran akal dan hati yang luar biasa. Allah melengkapi manusia dengan potensi hati (kalbu), akal (intelek), dan jasad (fisik). Hati dan akal adalah dua potensi spiritual dan intelektual yang menyebabkan manusia memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya, bahkan melebihi sebagian besar ciptaan-Nya. Akal memungkinkan kita untuk berpikir, menganalisis, dan memahami kebenaran, sementara hati adalah pusat perasaan, keyakinan, dan spiritualitas. Keseimbangan antara ketiganya merupakan kunci untuk memahami penciptaan manusia menurut Islam dan hakikat manusia yang sesungguhnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Quran:
Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS As Sajdah: 7-9)
Ayat ini dengan gamblang menjelaskan proses penciptaan manusia menurut Islam, mulai dari materi asal hingga pemberian ruh dan anugerah panca indera serta hati. Ini menegaskan bahwa manusia bukan sekadar entitas fisik, melainkan makhluk yang kompleks dengan dimensi spiritual. Kemuliaan manusia terletak pada ruh yang ditiupkan dan potensi diri manusia Islam berupa akal dan hati yang memungkinkannya untuk memahami, memilih, dan berinteraksi dengan Tuhannya. Namun, seringkali kita lalai untuk bersyukur atas anugerah yang begitu besar ini.
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. (QS. Al Hijr: 28)
Ayat ini kembali mengukuhkan asal-usul fisik manusia, menunjukkan kerendahan materi asal kita namun diangkat dengan tiupan ruh Ilahi. Ini mengajarkan kita untuk tidak sombong dan selalu merendah di hadapan Sang Pencipta. Memahami konsep diri Islami ini adalah langkah pertama untuk menyingkap jati diri manusia sesungguhnya.
2. Untuk Apa Aku Ada? (Tujuan Hidup dalam Islam)
Setelah memahami siapa aku dalam Islam, pertanyaan berikutnya adalah untuk apa aku ada? Islam menjelaskan bahwa ada dua tujuan penciptaan manusia yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan: yaitu dijadikan khalifah di muka bumi dan untuk beribadah kepada Allah. Tidak ada tujuan lain yang lebih utama! Semua aktivitas kehidupan kita, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, haruslah berada dalam kerangka kedua peran utama ini. Kita diciptakan untuk menjadi pengelola bumi yang bertanggung jawab (khalifah) dan sekaligus menjadi hamba yang tunduk dan patuh (abid) kepada Sang Pencipta. Jika kita mengabaikan salah satu dari peran ini, maka kita telah gagal memahami tujuan hidup dalam Islam.
Untuk memikul dua tugas besar ini, Allah telah membekali kita dengan potensi diri manusia Islam yang luar biasa, yaitu hati, akal, dan jasad yang memadai. Selama kita memanfaatkan semua potensi yang kita miliki ini secara optimal dan sesuai dengan tuntunan syariat, maka kedua tugas ini akan terlaksana dengan baik, Insya Allah. Peran akal dan hati sangat krusial dalam menuntun kita menjalankan tugas ini. Akal digunakan untuk merenungkan ciptaan Allah, mengelola sumber daya, dan mencari ilmu, sementara hati digunakan untuk mengarahkan niat, menguatkan iman, dan merasakan kehadiran Ilahi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz Dzaariyaat: 56)
Ayat ini dengan tegas menyatakan tujuan utama penciptaan seluruh makhluk berakal, termasuk manusia, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Ibadah di sini bukan hanya terbatas pada ritual-ritual shalat, puasa, atau zakat, melainkan mencakup seluruh aspek kehidupan yang dilakukan dengan niat ikhlas karena Allah dan sesuai dengan syariat-Nya. Setiap perbuatan baik, setiap ilmu yang bermanfaat, setiap pekerjaan halal yang dikerjakan dengan penuh tanggung jawab, dapat bernilai ibadah jika niatnya adalah mengabdi kepada Allah. Memahami ini adalah kunci untuk menemukan makna jati diri yang sebenarnya dan menghindari bahaya salah memahami jati diri.
Kemudian, dalam ayat lain, Allah berfirman:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al Baqarah: 30)
Ayat ini memperkenalkan peran kedua manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sebagai khalifah, manusia memiliki amanah untuk mengelola dan memakmurkan bumi, menegakkan keadilan, menjaga lingkungan, serta menyebarkan kebaikan. Tanggung jawab ini melibatkan penggunaan akal dan hati untuk membuat keputusan yang bijaksana dan melaksanakannya dengan penuh amanah. Keseimbangan antara peran sebagai hamba Allah (abid) dan khalifah di muka bumi adalah inti dari ujian hidup Islam hikmah sabar tawakkal yang lebih berat karena tidak adanya arah yang jelas.
3. Akan Kemana Aku? (Destinasi Akhir Manusia)
Setelah mengetahui siapa aku dalam Islam dan untuk apa aku ada, pertanyaan ketiga yang tak kalah krusial adalah kemana aku akan pergi? Tujuan akhir keberadaan kita bukanlah sekadar transisi dari masa bayi ke anak-anak, dari anak-anak ke remaja, dari remaja ke dewasa, atau dari dewasa menuju usia tua. Semua fase kehidupan di dunia ini hanyalah persinggahan sementara. Sesungguhnya, tujuan pasti setiap manusia setelah melewati kehidupan dunia ini adalah kampung akhirat. Dan di sana, hanya ada dua pilihan yang abadi: yaitu surga (Al Jannah) sebagai tempat kebahagiaan dan kenikmatan abadi, atau neraka (An Naar) sebagai tempat azab dan penderitaan yang kekal. Pemahaman ini sangat vital dalam pengertian jati diri Islam.
Lalu, mana yang akan kita pilih? Tentu saja, bagi kita orang-orang yang beriman, kita berharap dan berjuang untuk mendapatkan balasan surga dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Syaratnya adalah bahwa seluruh perjalanan dan tujuan hidup kita di dunia ini harus sesuai dengan tujuan keberadaan kita, yaitu sebagai khalifah di muka bumi dan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Setiap detik kehidupan, setiap amal perbuatan, dan setiap niat harus menjadi bagian dari persiapan akhirat kita. Jika kita benar-benar memahami konsep jati diri dalam Islam, maka seluruh hidup kita akan menjadi sebuah amalan pembuka pintu rezeki berkah melimpah dan kebaikan yang tiada henti, demi mencapai destinasi abadi yang kita impikan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka jannah tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa yang mereka kerjakan. Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir) maka tempat mereka adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: “Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya.” (QS As Sajdah: 19-20)
Ayat ini menjadi pengingat tegas tentang dua jalan yang berbeda dan konsekuensi abadi dari setiap pilihan yang kita buat di dunia. Pilihan untuk beriman dan beramal saleh akan membawa pada kebahagiaan surga, sementara pilihan untuk mendustakan dan berbuat fasik akan berujung pada azab neraka. Persiapan akhirat bukanlah konsep yang bisa ditunda, melainkan sebuah kebutuhan mendesak yang harus menjadi fokus utama setiap Muslim. Pentingnya memahami jati diri adalah agar kita dapat menjalani hidup dengan penuh kesadaran akan destinasi akhir ini.
Implikasi Memahami Konsep Jati Diri dalam Islam
Memahami siapa aku dalam Islam, untuk apa aku ada, dan kemana aku akan pergi, maka berbagai kegalauan dan kebingungan tentang arah hidup akan sirna. Pemahaman ini menghilangkan kabut keraguan dan memberikan kejelasan yang luar biasa. Individu akan memiliki konsep diri Islami yang kokoh, yang menjadi fondasi bagi setiap tindakan dan keputusan. Setiap langkah yang diambil akan dipertimbangkan dalam konteks peran sebagai khalifah di muka bumi dan hamba Allah, dengan tujuan akhir persiapan akhirat senantiasa menjadi panduan utama.
Selain itu, dengan pemahaman yang benar, potensi diri manusia Islam, termasuk bakat dan ketertarikan, akan dimanfaatkan secara optimal. Bukan lagi sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih besar, yaitu menggapai ridha Allah dan memberikan manfaat bagi sesama. Mengembangkan bakat akan menjadi bagian dari ibadah, sebuah cara untuk menjalankan amanah kekhalifahan dengan sebaik-baiknya. Ini adalah contoh nyata bagaimana bakat dan jati diri menyatu dalam kerangka Islam, menghasilkan kehidupan yang produktif dan penuh berkah. Kegagalan memahami aspek ini dapat menyebabkan bahaya salah memahami jati diri, yang berujung pada hidup yang sia-sia dan penyesalan di kemudian hari.
Memahami hakikat manusia sebagai makhluk yang mulia, dilengkapi dengan peran akal dan hati, serta bertanggung jawab di hadapan Allah, akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang besar. Individu tidak akan lagi merasa bahwa hidup ini hanya untuk kesenangan sesaat, melainkan sebuah perjalanan yang penuh amanah. Rasa syukur akan meningkat karena menyadari betapa besar karunia Allah, dan keinginan untuk berbuat baik akan terus membara. Pemahaman ini juga menjadi benteng dari berbagai godaan dan ajakan buruk, karena setiap pilihan akan dipertimbangkan dampaknya tidak hanya di dunia, tetapi juga di akhirat. Inilah esensi dari mencari jati diri yang sejati, yang berlandaskan pada petunjuk Ilahi.
Kesimpulan
Mudah-mudahan, setelah kita memahami dengan jelas siapa kita dari perspektif Islam, mengapa kita ada di dunia ini dengan tujuan yang mulia, dan mau kemana kita nanti sebagai destinasi akhir, pikiran kita tidak lagi galau atau bingung tentang jati diri. Kini sudah sangat jelas, apa yang perlu kita jalani dalam hidup ini dan apa saja konsekuensi yang akan kita hadapi di masa depan, baik di dunia maupun di akhirat. Inilah fokus utama kita saat ini: menjalani hidup untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi hari esok yang abadi, yaitu akhirat.
Kebenaran ini mengarahkan kita pada sebuah kesadaran yang mendalam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Hasyr: 18)
Ayat ini menjadi penutup yang sempurna, menekankan pentingnya introspeksi diri dan kesadaran akan pertanggungjawaban di hari kemudian. Pemahaman yang benar tentang konsep jati diri dalam Islam adalah bekal terbaik untuk menjalani hidup dengan penuh ketakwaan dan persiapan yang matang. Pentingnya memahami jati diri adalah kunci untuk meraih kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.
FAQ tentang Jati Diri dalam Islam
Apa itu jati diri menurut Islam?
Jati diri menurut Islam adalah pemahaman yang komprehensif tentang esensi keberadaan manusia berdasarkan petunjuk Al-Quran dan As-Sunnah. Ini mencakup tiga pilar utama: siapa manusia itu (makhluk Allah yang diciptakan dari tanah dan ruh, dianugerahi akal dan hati), untuk apa ia diciptakan (sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi), dan kemana ia akan kembali (kampung akhirat, surga atau neraka). Ini lebih dari sekadar bakat atau ketertarikan pribadi, melainkan hakikat manusia yang sesungguhnya.
Mengapa penting memahami jati diri dalam Islam?
Pentingnya memahami jati diri dalam Islam adalah agar hidup kita memiliki arah, makna, dan tujuan yang jelas. Tanpa pemahaman ini, hidup akan terasa hampa, tanpa arti, dan kita berpotensi tersesat dalam pilihan-pilihan yang keliru. Pemahaman jati diri yang benar menjadi fondasi bagi setiap tindakan dan keputusan, memastikan bahwa seluruh aspek kehidupan selaras dengan kehendak Allah dan membawa kita menuju kebahagiaan abadi di akhirat, sekaligus menghindari bahaya salah memahami jati diri.
Bagaimana Al-Quran menjelaskan jati diri manusia?
Al-Quran menjelaskan jati diri manusia secara rinci. Ia menguraikan penciptaan manusia dari tanah dan peniupan ruh Ilahi (QS As-Sajdah: 7-9; Al-Hijr: 28), menunjukkan kemuliaan manusia dengan potensi akal dan hati. Al-Quran juga menegaskan tujuan penciptaan manusia untuk beribadah kepada Allah (QS Adz-Dzaariyaat: 56) dan sebagai khalifah di muka bumi (QS Al-Baqarah: 30). Terakhir, Al-Quran menjelaskan destinasi akhir manusia di kampung akhirat, yaitu surga atau neraka, sesuai dengan amal perbuatannya di dunia (QS As-Sajdah: 19-20). Ini adalah dalil Al-Quran tentang jati diri.
Apa tujuan penciptaan manusia menurut Islam?
Tujuan penciptaan manusia menurut Islam memiliki dua dimensi utama yang saling melengkapi: pertama, untuk beribadah kepada Allah secara menyeluruh, yang mencakup segala aspek kehidupan yang diniatkan karena Allah dan sesuai syariat; kedua, untuk menjadi khalifah di muka bumi, yaitu pengelola dan pemakmur bumi dengan adil dan bijaksana, menjaga lingkungan, serta menyebarkan kebaikan. Kedua tujuan ini harus dijalankan secara seimbang.
Apa konsekuensi jika salah memahami jati diri?
Konsekuensi jika salah memahami jati diri sangatlah fatal, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, seseorang mungkin menjalani hidup tanpa arah, makna, dan tujuan sejati, merasa hampa meskipun memiliki banyak harta atau kesuksesan duniawi. Setiap tindakan dan keputusan dapat berujung pada kekeliruan, menyebabkan frustrasi, kebingungan, dan perilaku yang merugikan diri sendiri maupun orang lain. Di akhirat, bahaya salah memahami jati diri dapat menyebabkan kerugian yang lebih besar, karena ia tidak mampu mempersiapkan diri untuk hari esok yang abadi dan berpotensi mendapatkan balasan yang tidak diinginkan.


meniru-niru ciri kepribadian umat lain akan menjadi petaka yang tak mudah reda..
menjalani hidup ini tergantg proporsional yg membwt manusia membtasi gerak pikir daripda tindakan,yg dikendalikan nafsu
alhamdulillah.. Smg demikian ^_^
kita memiliki keunikan masing-masing. Mencari kelebihan dan potensi unik kita tentu saja sangat penting dalam kehidupan kita.
sangat bagus, motivasinya manusia pasti berbeda-beda.
Bagus bgt artikelnya,sgt bermanfaat
Intinya saling mnjaga sesama tidak merugikn org lain.